Bagi salah satu pendiri dari rumah produksi Fourcolours Films, Ifa Isfansyah berpendapat bahwa orang-orang mengenal Faozan Rizal sebagai sinematografer dengan proyek-proyek eksperimental. Walaupun demikian, film pertamanya justru sangat komersial. Pada tahun 2012, di kala itu film Habibie & Ainun arahan dari sutradara Faozan Rizal, cukup meledak di pasaran dan berhasil mendulang perolehan jumlah penonton sebesar 4,5 juta penonton. Sebuah pencapaian yang fantastis dan tentu saja menguntungkan, baik dari sisi komersil, maupun sisi artistik dan portofolio sang kreator filmnya. Dengan mengusung tema tentang pesulap dan ilusionis, film arahan sutradara Faozan Rizal berjudul Abracadabra ini hadir sebagai film pembuka di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) ke-14 yang diadakan pada 19-23 November 2019.
Apa yang disajikan dalam film Abracadabra sudah cukup menarik perhatian bahkan dimulai dari sinopsisnya itu sendiri. Pesulap bernama Lukman? Orang Indonesia? Mengapa Abracadabra dan bukan Sim Salabim? Mengapa ada seorang anak mendadak hilang di dalam kotak? Penyihir holocaust Herbert Nivelli? Kamp konsentrasi di Auschwitz? Nazi? Kotak Yggdrasil? Komposisi warna seperti film-filmnya Wes Anderson? Setidaknya itu adalah beberapa hal yang muncul di benak para pembaca sinopsisnya, karena membayangkan sebesar apa skala film ini sampai-sampai ada unsur sejarahnya. Namun, yang seringkali dilupakan juga adalah tagline dari film itu sendiri. Dalam bahasa Indonesia, bunyinya terdengar sederhana: Apakah Kamu Percaya? Namun dalam bahasa Inggris, berbunyi demikian: Do You Believe In Magic?
Menyandang nama dan gelar yang besar bisa menjadi sebuah kejenuhan. Baik itu dari sisi prestasi maupun atensi. Beban masa lalu pun bisa menjadi salah satu faktor penentu ke mana orang akan melanjutkan hidup. Setidaknya itulah yang terlihat dari Lukman (Reza Rahadian), seorang pesulap nomor 1 di sebuah tempat yang tidak bernama. Sebuah tanah bagi para pesulap dan ilusionis. Sebuah tempat dengan orang-orang yang berpenampilan istimewa, mengaburkan mana yang realita ataupun ilusi mata. Nyaris sebuah fantasi. Lukman memutuskan untuk pensiun (dini) dan hendak memberikan pertunjukkan terakhirnya sebagai seorang pesulap. Namun sayangnya, pertunjukkan terakhirnya menarik perhatian dengan cara yang berbeda, yang juga mungkin belum pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Bagaimana tidak, mantra yang dilontarkannya menghilangkan seorang bocah laki-laki (Muhammad Adhiyat) dengan kepolosannya yang rela menjadi seorang relawan untuknya. “Aku ingin menjadi pesulap seperti om!” katanya. Lukman kebingungan. Sebuah trik dan ilusi yang biasa dilakukannya telah berubah menjadi sihir dengan realita yang memakan korban. Apa yang salah?
Adalah sebuah hal yang tragis, ketika pertunjukkan sulap seharusnya memukau penonton, namun menjadi sebuah tragedi yang mengherankan para penontonnya, bahkan sang pesulapnya itu sendiri. Demian Aditya salah satunya. Pertunjukkannya di America’s Got Talent membuatnya tersingkir dari acara tersebut. Kebenarannya mungkin masih dipertanyakan, tetapi yang dirasakan penonton ketika pertunjukkan memukau itu gagal, tentu saja berakhir dengan ketegangan, mungkin juga ketakutan. Tapi tidak dengan Abracadabra yang mengusung genre black comedy. Faozan Rizal membungkusnya seperti sebuah karikatur komedi. Ibu dari anaknya pun (Asmara Abigail) malah ingin ikutan disulap seperti anaknya. Pihak yang berwajib (Butet Kertaradjasa) malah menganggapnya sebagai penculikan. Rekan pesulapnya (Lukman Sardi) malah mencoba membaca mantra secara terbalik. Dan tiba-tiba, ada sesuatu yang terlepas di panggung, efektif membubarkan kebingungan besar pada saat itu dengan konyol.
Setelah ditelusuri kembali, ternyata kotak yang digunakan punya muatan sejarah. Konon katanya, pesulap holocaust legendaris bernama Herbert Nivelli adalah pemiliknya. Kabarnya, kotak ini juga sempat digunakan untuk menyelamatkan orang-orang di kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz. Tidak hanya itu, kotak tersebut juga punya nama: Yggdrasil. Sebuah nama yang dipinjam dari sejarah mitologi Nordik. Sebuah pohon kehidupan yang menghubungkan sembilan dunia di dalamnya. Kejutan tidak berhenti sampai di situ. Lukman dengan misi pencariannya kembali dikejutkan dengan perempuan-perempuan yang keluar dari Yggdrasil. Terlepas siapa identitasnya dan dari mana asalnya, mereka yang hadir dengan sulap, malah ingin belajar melakukan atraksi sulap. Hubungan antar karakter pun bermunculan, dari yang ada menjadi tidak ada, begitu juga sebaliknya. Setidaknya menit-menit awalnya akan membawa penonton kepada banyak pertanyaan. Siapa? Di mana? Mengapa? Bagaimana?
Pertanyaan-pertanyaan serupa juga seringkali kita tanyakan ketika terpukau oleh pertunjukkan sulap. Pertanyaan-pertanyaan inilah juga yang akan kita tanyakan setelah menonton filmnya, bisa dengan kesan yang positif, ataupun juga dengan kesan yang negatif.
Pada akhirnya, seperti itulah pertunjukkan sulap, bukan? Bagaimana kita mendefinisikan sulap? Sulap dalam bahasa inggris diterjemahkan menjadi magic. Jika kita hendak memahami ulang arti kata magic, terdapat percabangan yang beragam tentang arti kata itu. Magic dapat berarti sihir, dan relasi kata sihir adalah kuasa supranatural, sesuatu yang tidak selaras dengan logika, dan seringkali juga tidak dapat dijewlaskan. Tetapi magic juga dapat berarti sebuah trik, sesuatu yang cerdik dan menipu, menyamarkan kebenaran yang mengelabui mata melalui kecepatan tangan atau dengan tipuan lainnya yang masih dapat dijelaskan. Dalam arti yang lain lagi, magic juga dapat berarti sebuah ilusi yang lagi-lagi dapat menipu penglihatan dan pemikiran kita sendiri. Sedangkan KBBI memiliki serapan kata dari magic, yang adalah Magi, dan didefinisikan sebagai “sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib dan dapat menguasai alam sekitar, termasuk alam pikiran dan tingkah laku manusia”. Dengan banyaknya arti kata magic, tagline film bertanya kepada penonton dengan sederhana, Apakah Kamu Percaya (Pada Magi)? Abracadabra pada titik ini, setidaknya sudah berhasil mengaburkan realita dan menciptakan realita baru yang pada semula memang tidak ada. Tempat yang keberadaannya tidak dijelaskan pada Abracadabra bisa juga merujuk pada terra incognita, sebuah tempat yang keberadaanya mungkin belum diketahui atau belum dipetakan. Konsep realita baru ini pun bisa merujuk pada sebuah art movement yang disebut sebagai superrealism atau hyper-realism, jika memang dimaksudkan ke arah sana. Tentu saja itu semua kembali ke interpretasi masing-masing penonton.
Representasi visual filmnya mendapat perhatian khusus. Tidak jarang yang menyebutkan ada inspirasi Wes Anderson di dalamnya, dengan palet warna cerah dan khas yang memanjakan mata. Minus posisi proporsional yang menjadi ciri khasnya Anderson. Faozan Rizal juga tidak bermain-main dengan representasi visual tentang perkembangan seni dan magic itu sendiri. Pada suatu adegan, kita diperlihatkan pada sebuah lukisan imitasi dari Leonardo da Vinci “The Last Supper” atau disebut juga Perjamuan Terakhir. Kemudian, ada representasi Frida Kahlo, seorang pelukis yang menganut paham surealisme dari Meksiko. Pada beberapa adegan yang lain, kita juga melihat adanya lukisan-lukisan yang sekilas berasal dari Jerman pada abad ke-18. Maka, di sisi lain Abracadabra juga seolah hadir sebagai sebuah galeri yang menyiratkan perkembangan seni dari jaman ke jaman.
Music score yang menghiasi film ini juga memiliki keunikan tersediri. Penggunaan drum yang dominan sedikit mengingatkan kembali pada sebuah film yang sama-sama tidak memiliki batasan surealis dan realistis yang jelas. Birdman (or The Unexpected Virtue of Ignorance) juga hanya menggunakan drum sebagai scoringnya. Alasannya pun sederhana, musik jazz yang menjadi scoring pada film tersebut dimaksudkan sebagai sebuah ekspresi, karena pada dasarnya jazz memiliki jiwa tersendiri yang menjadi ekspresi utama dalam setiap not dan ketukannya. Bisa dibilang, Abracadabra mungkin ingin menyiratkan hal yang sama. Ada setiap ekspresi yang dipancarkan pada setiap frame-nya, baik melalui audio maupun visual, yang pada dasarnya juga merupakan konsep dari sebuah sinema itu sendiri.
Bagaimana memahami Abracadabra sepertinya selaras dengan pertanyaan bagaimana memahami seni. Lagipula, sampai hari ini, perdebatan asal kata Abracadabra juga masih berlangsung, bukan? Apa arti sesungguhnya? Kesimpulannya, melalui Abracadabra, Faozan Rizal sepertinya bukan sedang bercerita mengenai sulap dan ilusinya, namun dia sedang melukis karya seni kontemporer tentang kekayaan sejarah dan perkembangannya. Atau mungkin juga, kecintaanya akan karya seni dan hal-hal yang tidak dapat dijelaskan darinya. Persis seperti kalimat yang hadir di trailernya. Sebuah film pada akhirnya memang merupakan sebuah ilusi gambar bergerak yang teratur dengan tatanan suara yang disusun sedemikian rupa, yang memengaruhi perasaan dan panca indera penontonnya. Karena pada akhirnya, itulah sinema dan keajaibannya.
Writer: Christian (@christmellody)
